Translate

PELAJARAN BERHARGA DARI EYANG SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO KE-IX (EYANG BENDORO RADEN MAS DOROJATUN)

Posted by pasgama12

A. PENDAHULUAN
Di awal tahun 2012, Yogyakarta mulai dibanjiri buku-buku yang mengupas soal Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mulai yang berisikan seputar biografi, gaya kepemimpinan, kesaksian beberapa orang terdekat, sampai buku-buku yang asal mencatut nama Sultan dengan tujuan numpang laris. Hal demikian dapat dimaklumi, karena di tahun 2012 ini bertepatan dengan 100 tahun kelahiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memiliki nama asli Bendoro Raden Mas Dorodjatun yang namanya tidak asing lagi bagi masyrakat Yogyakarta. Sehingga wajar kalau segala atribut maupun buku-buku yang memuat akan beliau akan turut terjual laris dipasaran.
Bagi masyarakat Yogyakarta, sosok Sultan memiliki nilai yang sangat penting baik dalam kehidupan sosial-politik maupun lingkup kebudayaan Yogyakarta itu sendiri. Maka wajar, kisruh kasus seputar agenda ‘penetapan’ atau ‘pemilihan’ sangatlah sensitif bagi masyarakat Yogyakarta. Tak pelak, kondisi ini cukup menarik baik itu dilihat dalam skala politik kedaerahan, nasional, maupun sosio-historis yang ada dan berkembang hingga detik ini.
Dalam kesempatan ini, penulis tidak mungkin dapat mengulas seluruh kiprah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengingat  beliau merupakan tokoh yang cukup banyak melakukan kegiatan baik itu di lingkup Yogyakarta sendiri maupun nasional. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk memberikan sedikit refleksi atas gaya kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas apa yang terjadi pada Indonesia 2012. Harapannya kemudian tulisan ini akan memberikan masukan sekaligus inspirasi bagi para pembaca yang mungkin belum tahu akan sosok Sultan khususnya dalam hal kepemimpinan beliau. Sehinggga keteladan, kecerdasan, dan sikap luhur beliau dalam hal kepemimpinan akan menjadi salah satu refrensi bagi generasi muda yang nantinya akan menjadi salah satu tiang penerus berdirinya pemerintahan dan kehidupan masyarakat Indonesia kearah yang lebih baik.
B. SULTAN LEBIH DARI SEKEDAR RAJA
Sempat disinggung penulis di bagian pendahuluan terkait nilai dan kedudukan Sultan bagi masyarakat Yogyakarta, dimana beliau memiliki arti penting bagi masyrakat Yogyakarta, bukan sebatas karena kedudukan beliau sebagai Raja dari Kasultanan Ngayogyakarta Haningrat maupun jabatan birokratif disandang beliau sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi lebih dari itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat erat khususnya bagi masyarakat Yogyakarta.
Saking erat atau kedekatan beliau terhadap masyarakat Yogyakarta, penulis sempat mendapatkan sebuah cerita yang melegenda dari masyarakat Yogyakarta sendiri saat Sultan dimarahi oleh seorang ibuk-ibuk yang telah diantarkan Sultan sampai Pasar Kranggan dengan mobil pribadinya. Ternyata hal ini bukanlah isapan jempol belaka, karena kejadian itu dibenarkan oleh Dra. S.K. Trimurti yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama[1]. Dalam tulisannya beliau kurang lebih menceritakan saat Sultan dari Kaliurang dan hendak menuju Keraton dengan mengendarai mobil pribadinya, ditengah jalan beliau diberhentikan oleh seorang ibuk dengan barang-barang dagangannya yang hendak menuju pasar Kranggan. Tanpa basi-basi Sultan kemudian menaikkan barang-barang ibuk tersebut sendiri ke dalam mobil dan diantar sampai pasar Kranggan. Setibanya di pasar Kranggan ibuk tersebut memberikan upah kepada beliau, namun beliau menolak dan tersenyum kepadanya. Karena merasa dilecehkan oleh oleh tindakan sopir tersebut (Sultan), akhirnya ibuk tersebut marah. Beberapa saat kemudian sang ibuk diberitahu oleh mantri pasar yang kebetulan jaga di tempat tersebut, singkat cerita ibuk tersebut pingsan karena baru tahu bahwa yang dimarahinya tersebut adalah Raja nya sendiri, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Kebiasaan hidup beliau yang selalu tampil sederhana dan bersahaja inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mengingat apa yang dilakukan oleh Sultan itu sendiri jauh dari gambaran penulis akan kehidupan seorang Raja pada umunya. Dimana seorang ‘Raja’ selalu identik dengan kehidupan yang mewah, monarkhis, selalu menjaga jarak dengan rakyatnya, haus kekuasaan dan pengakuan dari rakyatnya.
C. KERATON SULTAN BERSAHABAT DENGAN REPUBLIK INDONESIA
Gambaran akan kehidupan seorang raja dalam benak penulis nampaknya sangat kontradiktif dengan apa yang telah dilakukan oleh Sultan semasa beliau masih hidup. Beliau bukanlah pribadi yang gemar hidup mewah seperti yang sering ditunjukkan oleh ayahnya, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Beliau bukanlah pribadi yang haus pencitraan atau pengakuan seperti apa yang telah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negara kita saat ini, hal tersebut dibuktikan dengan sikap beliau yang selalu mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan memilih sikap ‘diam’ saat banyak orang menghujani beliau dengan pertanyaan-pertanyaan seputar ‘siapa sebenarnya aktor utama dibalik Serangan Umum 1 Maret 1949’, bagi Sultan sendiri lebih baik diam demi menjaga situasi politik Indonesia yang cukup kisruh saat itu. Dan yang paling penting, beliau tidak pernah menjaga jarak dengan rakyatnya (merakyat). Kondisi demikianlah yang kemudian membuat masyarakat Yogyakarta dan penulis sendiri sangat bersimpatik atas sikap luhur yang dicontohkan beliau.
Sejarah mencatat setidaknya ada 4 (empat) sikap yang luar biasa yang ditunjukkan oleh seorang “Raja” sekaligus pribadi yang menyatakan diri sebagai “Penduduk Indonesia” menurut Hartarto Sastrosoenarto, yakni[2]:
  1. Menyatakan Yogyakarta adalah bagian dari Republik.
  2. Menyediakan Yogyakarta sebagai Ibu Kota.
  3. Membiayai Republik.
  4. Menyediakan tempat bagi Universitas Gadjah Mada
Dalam hal ini, penulis hendak menjelaskan bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Sultan sangatlah dewasa dan berani, mengapa? Menyatakan Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan menyediakan Yogyakarta sebagai Ibu Kota beserta pembiayaannya adalah sikap yang belum pernah penulis temui dalam sikap kepemimpinan seorang raja manapun di tanah air.
Tidaklah berlebihan kalau menyebut Sultan dan Yogyakarta sebagai representasi Raja-Raja Jawa, maka kehendak beliau untuk mendukung sepenuhnya Republik Indonesia dalam hal ini tentunya mendapat banyak tantangan baik itu dalam keraton maupun luar keraton Yogyakarta itu sendiri. Maklum saja pada saat itu Soekarno yang menjadi Presiden Indonesia belum pernah memiliki jasa apapun kepada Sultan. Akan tetapi, karena sikap nasionalisme yang tinggi dalam diri Sultan dan rasa cintanya yang luar biasa terhadap Indonesia maka hal tersebut tidaklah menjadi persoalan besar bagi beliau.
Tak pelak dalam kacamata politik sikap yang ditunjukkan oleh Sultan dinilai terlalu berlebihan. Mengingat dalam hal tersebut, Sultan sendiri tidak begitu banyak mendapatkan manfaat pribadi dan jutru mengeluarkan banyak uang dan pikiran. Dari sinilah kemudian sejatinya sikap luhur Sri Sultan Hamengku Buwono IX mulai sedikit banyak mulai terlihat. Dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX nyatanya memang sama sekali tidak mengharapkan balasan apa-apa atas tindakan yang beliau lakukan. Suatu kondisi yang tentunya bertolak belakang dengan kehidupan politik di dalam negeri saat ini, dimana deal-dealan kepentingan pribadi maupun kelompok menjadi magnet utama atas suatu kegiatan politik tertentu.
Terakhir, keputusan beliau untuk menyediakan ruangan dalam keraton untuk dijadikan tempat belajar Universitas Gadjah Mada juga patut mendapatkan apresiasi besar. Hal tersebut tentunya didasarkan atas fungsi keraton yang semestinya lebih bersifat sakral dan tertutup, serta hanya bisa dipergunakan oleh orang dalam keraton saja. Akan tetapi oleh Sultan justru dibuka untuk umum, hal tersebut dilakukan guna menunjang sarana belajar bagi masyarakat Indonesia saat itu yang masih lemah akan kebudayaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kasus terakhir ini, tentunya juga sebagai akibat dari melek pengetahuan yang ada dalam diri Sultan. Maklum lah, Sultan sendiri merupakan orang terdidik pada saat penjajahan kolinial Belanda beliau masih mengenyam bangku sekolah sampai ke perguruan tinggi, hanya saja gelar Doktoralnya gagal dicapai karena bahan tulisannya dihancurkan oleh militer Belanda saat tragedi penyerbuan bagian dalam keraton Yogyakarta.
Oleh karenanya, sikap teladan yang telah ditampilkan Sultan dalam hal ini setidaknya memberikan bukti bahwa seorang Raja Ngayogyakarta Hadiningrat bukanlah pribadi yang ‘maunya’ mengatur-ngatur saja layaknya seorang raja yang maunya menang sendiri. Namun beliau  membuktikan, bahwa dirinya juga ‘mau diatur’ juga dalam konteks kekuasaan yang lebih luas. Terlebih, dia membuktikan pula bahwa untuk melakukan hal apapun itu tidaklah harus melulu didasarkan pada pertimbangan untung-rugi semata, dan harusnya sikap peduli terhadap kepentingan banyak orang lah menjadi pendasaran utama atas suatu tindakan. Dan dalam hal ini, sekali lagi Sultan membuktikan, bahwa kecintaannya terhadap Negara Indonesia melebihi atas pengkultusan beliau sebagai Raja Yogyakarta.
D. BERKUASA TAPI TIDAK “SOK” KUASA
Sri Sultan Hamengku Buwono IX identik dengan pribadi yang sering mengalah, tanpa pamrih, merakyat, sederhana,  namun cerdas dalam mengambil sebuah strategi dan keputusan. Tak pelak dalam catatan karier beliau baik dalam bidang militer maupun politik lebih sering diposisikan sebagai perancang strategi. Dan anehnya, sikap beliau ini sering mendapatkan protes keras dari pendukungnya sendiri yang menilai Sultan sering tidak sadar dimanfaatkan oleh para lawan politiknya.
Tapi apapun tanggapan yang diberikan oleh orang lain, Sultan tetaplah  Sultan dimana beliau selalu memegang teguh prinsip hidupnya yang merupakan manifestasi melek politik (warisan budaya barat) dan mendengarkan bisikan ghaib (warisan budaya timur). Perpaduan sikap barat dan timur yang diterapkan oleh beliau inilah yang kemudian membuat beliau menjadi pribadi yang ‘cerdas’ namun tidak lepas dari tata hidup dan  berprinsip orang timur.  Hal tersebut dibuktikan oleh beliau saat penandatangan kontrak kesepakatan dengan Belanda saat beliau telah terpilih untuk melanjutkan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Dimana perundingan yang sangat alot hingga menelan waktu berbulan-bulan seketika selesai saat Sultan mendapatkan ‘bisikan ghaib’ yang diyakini sebagai suara leluhur beliau.[3]
Hal tersebut kalau dikontekskan dengan kehidupan masa sekarang memang menjadi suatu hal yang janggal, dimana tradisi keilmuan barat selalu dielu-elukan dan dipuja sebagai kiblat kebenaran dengan memberikan klaim bahwa “segala yang benar adalah yang dari barat, serta segala sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat dianggap sebagai suatu hal yang salah (irasional)”. Hal ini terlihat jelas dalam model kehidupan yang terjadi di Indonesia 2012, dimana cara berfikir dan gaya hidup orang timur telah ‘diberangus’ habis oleh tradisi barat. Ungkapan ‘kami masih memegang teguh cara hidup orang timur’ nampaknya hanya berada dalam wilayah verbal saja tanpa tindakan yang nyata dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Parahnya lagi, pemimpin negeri ini juga terkesan hanya berdiam diri saja melihat segalan kondisi yang berlangsung dalam tubuh kepimpinannya. Kondisi demikian dapat dilihat dalam kasus penggusuran pasar-pasar tradional. Dengan dalih kerapian dan proses menuju pasar tradisional yang lebih layak dan “modern”, banyak para pedagang-pedagang yang semula cukup eksis di pasar tradisional kini hanya duduk manis dirumah karena tidak mampu membayar cicilan lapak usahanya. Sungguh suatu hal yang sangat ironis, dimana sebuah negeri yang sering mengatas namakan negeri yang tetap memegang teguh prinsip hidup orang timur, justru membiarkan para simbok-simbok yang semula dapat berjualan di pasar kini hanya duduk manis dirumah, dan digantikan dengan para pengusaha-pengusaha kaya raya yang kemudian membangun mall disampaing pasar dengan alasan bahwa hadirnya sebuah mall ditengah-tengah masyarakat sebagai simbol bahwa masyarakat disekitar telah tegolong sebagai masyarakat yang modern.
Kembali lagi kepada sikap Sultan, ada kutipan yang menarik yang disampaikan oleh Radahar Panca Dahana dalam tulisannya yang berjudul “Dimana Monarkhi Itu”.[4]
Mana yang monarkhis dari Sultan yang biasa mengendarai sendiri mobilnya, tanpa pengawal hingga ia ditilang Polisi di Cirebon dalam perjalanan Yogya-Jakarta, hanya karena ia bertelanjang dada akibat udara panas?
Mana yang monarkhis dari Sultan yang rela mengambil puluhan keping emas kas Keraton tanpa pernah dia hitung untuk membiayai kemerdekaaan Negara Indonesia dan tanpa pernah dia berharap untuk memintanya kembali.
-Radhar Panca Dahana-
Dalam konteks tersebut, Radhar setidaknya memberikan gambaran bahwa kekuasaan bukanlah suatu hal yang terlampau istimewa dan memiliki kuasa yang berlebihan. Tentunya kita belum lupa saat Dahlan Iskan yang turun dari mobilnya sendiri yang kemudian memarahi petugas jalan tol karena hanya membukakan satu jalur antrean saja yang mengakibatkan kemacetan panjang. Memang tindakan Dahlan Iskan tersebut pantas mendapatkan apresiasi besar, namun berapa banyak Dahlan Iskan yang ada di pemerintahan saat ini? Tentunya publik bisa menjawabnya dengan gampang, mengingat pribadi seperti demikian sangat langka dijumpai. Justru yang ada kebanyakan sebaliknya. Parahnya lagi, masyarakat kita ‘yang merasa memiliki uang’ juga turut ambil bagian dalam hal tersebut, tercatat seperti nama Ruben Onzu, Indra Bekti, dan beberapa selebritas lainnya menggunakan jasa four riders demi mengejar jam syuting yang nyata-nyata akan menimbulkan kerugian bagi pengguna jalan yang lain. Suatu kondisi yang sangat jauh dari cara hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
E. MEMIMPIN DENGAN HATI
Banyak pihak yang menyayangkan sikap Sultan saat dirinya menolak untuk dijadikan Wakil Presiden mendampingi Soehrato kedua kalinya. Sikap tersebut sangat disayangkan mengingat karier Sultan pada saat bersamaan sedang meroket tinggi. Atas tindakan tersebut sekali lagi penulis menyampaikan ‘inilah sikap bijaksana dari seorang pemimpin’.
Seperti diketahui bersama, di akhir tahun 1974 situasi ekonomi dan politik Indonesia mengalami fase yang cukup genting. Gerakan-gerakan mahasiswa yang pada tahun 1966 erat kaitannya dengan militer, maka di tahun 1974 ini gerakan mahasiswa berubah menjadi konfrontasi terhadap militer yang diidentikan dengan kekuasaan Orde Baru dibawah komando Soeharto. Issue mulai penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu, kenaikkan harga BBM, sampai Mega Proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi beberapa issue yang sering disuarakan oleh Arif Budiman dan rekan-rekan mahasiswa yang lain. Dan Sri Sultan Hamengku Buwono  IX yang pada masa itu menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia masa bakti 1973-1978 diamanati sebagai peletak batu pertama mega proyek tersebut. Suatu kondisi yang sangat bertolak belakang dengan cara hidup dan hati nurani Sultan selama ini.
Terkait hal tersebut, sekitar tanggal 14-15 Januari 1974 atau yang lebih akrab disebut sebagai peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) saat Jakarta berada dalam kondisi yang tegang akibat aksi mahasiswa menyeruakkan yel-yel kasarnya tiada henti  ada sebuah pemandangan yang cukup berbeda terlihat di depan Kantor Wapres Sri Sultan Hamengku Buwono  IX. Dimana menurut penuturan Muhtaryono, para pendemo yang melewati kantor Wapres yang semula cukup gaduh seketika berubah menjadi damai dan penuh ketenangan sampai mereka melewati ujung jalan. Suatu bukti, betapa para mahasiswa yang sangat mengecam keras akan kebijkan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat dan Sri Sultan Hamengku Buwono  IX ada didalam tubuh pemerintahan namun rasa hormat masih terus diberikan kepada Sultan dengan menganggap Sultan sebagai pribadi yang  tidak patut dipersalahkan karena hal tersebut.
Atas segala kebijakan yang telah dijalankan oleh Soehrato, maka di tahun selanjutnya Sultan enggan untuk dicalonkan lagi menjadi Wakil Presiden dengan alasan bahwa Sultan memiliki masalah kesehatan sehingga takut akan menggangu proses pelaksanaan tugasnya dikemudian hari nanti. Namun beberapa pihak menafsirkan, bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan ini merupakan bukti bahwa Sultan memiliki sikap kesatria. Yang kemudian menurut Widjojo Nitisastro menyebutkan sebagai sikap kesatria Mataram yang mana ‘seorang kesatria tahu kapan harus maju, kapan mundur, kalau prinsip-prinsipnya sudah tidak sejalan lagi’[5].
Dan nampaknya sikap teladan beliau ini akan jarang kita temui dalam pemerintahan Indonesia saat ini, dimana sebisa mungkin ‘mempertahankan’ jabatan untuk kurun waktu yang lebih lama itu justru lebih penting dibandingkan dengan prinsip-prinsip kerakyatan lainnya, tidak perduli selama menjalankan jabatannya tersebut kebijakan-kebijakan yang telah dihasilkan menyengsarakan rakyat banyak.
Memang terlihat terlalu idealis apa yang telah ditunjukkan oleh Sultan, terlebih dalam sikap berpolitik itu ‘kepentingan’ lah yang menjadi arah tujuan utama atas segala tindakan yang akan dan sedang dilaksanakan. Namun sekali lagi, ‘hati’ manusia yang  merupakan karunia dari Tuhan YME yang memiliki sifat seperti ‘rem’ yang akan membantu manusia itu sendiri apabila terlalu kencang dalam mengemudi atau mengejar suatu hal. Dan hebatnya, politikus dan orang-orang pemerintahan serta masyrakat kita saat ini hanya menisbahkan ‘hati’ hanya sebatas memberikan wujud idealis saja. Yang kemudian oleh masyrakat kita sendiri, hal yang terlalu idealis tersebut tidak akan membantu banyak dalam menjalani kehidupan yang teramat keras.
F. SEMANGAT SULTAN UNTUK INDONESIA 2012
Kini tepat 100 tahun atas kelahiran Sri Sultan Hamnegku Buwono IX atau 24 tahun semenjak kepergian beliau. Selama itu pula wajah Yogyakarta dan Indonesia mengalami banyak perubahan. Sikap teladan yang beliau wariskan kini telah mendarah daging bagi para pengagum setianya, namun jumlah nya kini makin hari makin menurun bersamaan dengan mulai memudarnya kisah-kisah teladan beliau. Banyak anak-anak kecil kini lebih mengenal Si Madun dan tokoh-tokoh kartun impor lainnya dibandingkan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pun demikian dengan kawula muda yang lebih tertarik akan budaya-budaya maupun girlband atau boyband asal Korea dibanding belajar akan sejarah Sultan itu sendiri.
Sebuah pemandangan yang sangat aneh bagi penulis, bukan karena penulis kurang suka K-Pop atau acara Si Madun yang sering ditanyangkan di acara televisi swasta nasional. Namun penulis cukup prihatin atas segala kondisi yang ada saat ini. Mengingat Sultan dan segala kepribadian dan kepemimpinan beliau sangat bijak untuk menjadi salah satu acuan bagaimana menyikapi akan hidup dan kehidupan. Memang apa yang ditampakkan Sultan terkesan terlalu idealis, tapi apakah menjadi pribadi yang idealis itu salah? Tentunya semua orang memiliki pandangan dan penialainya sendiri-sendiri.
Di penghujung tulisan ini penulis ingin menekankan beberapa hal: pertama, menjadi anak muda yang idealis itu “perlu”, karena kalau masa muda saja tidak idealis terus kapan menjadi pribadi yang idealis? Bukankan semakin tua kita akan menjadi lebih kompromis? Kedua, Sultan kerap mencotohkan bukan hanya mencotohkan liwat lisan namun dengan perbuatan yang konkrit. Para pemimpin negeri ini nampaknya harus banyak belajar dari Sri Sultan hemangku Buwono IX dimana kebanyakan dan bahkan mayoritas pemimpin kita saat ini hanya “gemar” mencotohkan dalam lisan namun ‘nihil’ dalam perbuatannya. Mereka (para pemimpin negara saat ini) gemar mengumbar janji-janji, tapi sampai kelar masa jabatannya, janji itu hanya akan tetap menjadi janji. Sebuah kondisi yang bertolak belakang dengan Sultan, dimana beliau jarang suka berkoar-koar namun selalu ambil bagian dalam sebuah gerakan yang kiranya itu perlu dan harus dilakukan.
Ketiga, kepribadian seorang pemimpin itu memang harus merakyat. Tapi jangan sampai kegiatan merakyat tersebut dilakukan hanya untuk mendapatkan simpati rakyat. Banyak kasus membuktikan bahwa para politisi yang hendak mencalonkan dirinya dalam jabatan-jabatan publik akan sering mengunjungi dan bersilaturahmi dengan rakyat dimasa awal ketika dia akan mencalonkan diri, namun paska terpilih jangan harap mereka mau mengunjuingi rakyat, yang ada justru sebaliknya dimana mereka akan ‘sebisa mungkin meraup untung dari keringat rakyat’. Keempat, memimpin itu dari hati. Sultan selalu menekankan bahwa melakukan hal apapun itu jangan pernah pamrih, sebisa mungkin melakukan pekerjaan apapun itu atas dasar misi kemanusian dan panggilan jiwa. Jangan seperti kehidupan politik yang terlalu sibuk mengitung besaran untung-rugi, karena sejatinya menjadi seorang pemimpin itu panggilan hati dan bukan panggilan money. Kelima dan terakhir, selalu berpegang teguh atas konsep the right man in the right place. Menjadi pemimpin itu bukanlah paksaan dan bukan pula memaksa untuk jadi pemimpin. Terkadang kita harus ikhlas apabila ada orang disekitar kita yang ternyata lebih mampu dibandingkan kita. Dan kita harus mendukung dan ikhlas dengan kondisi itu. Yang tebaik adalah melakukan atas apa yang bisa kita lakukan (Sing Ngarso Sung Tulodo, Ing  Tengah Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani).
Demikian yang bisa penulis sampaikan, semoga bisa menjadi sebuah inspirasi atau setidaknya menjadi sebuah refrensi tambahan kita semua akan sikap teladan yang telah dilakukan oleh Sri Sultan hemangku Buwono IX dalam konteks kehidupan maupun gaya kepemimpinannya. Dan penulis mengakui dengan jujur, bahwa semenjak menyusun blog dalam rangka “Kontes Blog Universitas gadjah Mada dengan tema Semangat dan Inspirasi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX bagi Generasi Penerus Bangsa” penulis baru menyadari betapa hebat dan luhur pekerti yang ditunjukkan oleh Sultan. Suatu fakta sejarah yang harusnya bisa benar-benar menjadi inspirasi untuk seluruh Anak Bangsa Indonesia.

Oleh:
Hasan Setiawan
Mahasiswa Jurusan Pembangungan Sosial dan Kesejahteraan (Sosiatri)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

Daftar Pustaka
de Rosari, Aloysius Soni BL. 2011. “Monarkhi Yogya” Inkonstitusional. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Poernomo, Djoko. 1991. Anugrah HB IX untuk Ilmuan Berprestasi UGM. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Pour, Julius dan Nur Adji (Ed.). 2012. Sepanjang Hayat Bersama Rakyat. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Roem, Mohammad dan Mochtar Lubis dkk. 2012. Tahta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

[1] Lihat tulisan Dra. S.K. Trimurti dengan judul Kesan-Kesan “Wong Cilik” tentang “Rajanya” dalam buku Tahta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.
[2] Lihat tulisan Hartarto Sastrosoenarto dengan judul Empat Warisan Patriotisme Sultan Yogya dalam buku Sepanjang Hayat Bersama Rakyat terbitan Kompas.
[3] Kejadian ini terjadi pada saat beliau telah terpilih untuk melanjutkan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimana sebagai tradisi sebelumnya, setiap terjadi pemindahan tahta kerajaan diikuti dengan kesepakatan perundingan perjanjian-perjanjian baru dengan pemerintah kolonial. Karena Sultan telah banyak belajar mengenai sepak terjang Belanda saat dia masih belajar di bangku perkuliahan Belanda, maka dia menjadi pribadi yang cukup tahu akan siasat politik yang akan dilakukan oleh pemerintah kolonial. Model pemikiran yang ditunjukkan oleh Sultan yakni kritis atas segala bentuk perjanjian yang disodorkan pemerintah kolonial oleh penulis digolongkan sebagai tradisi keilmuan barat.
Akan tetapi Sultan juga tetap mempercayai akan ‘bisikan ghaib’ yang menurut beliau adalah suara dari leluhur Sultan. Dan cara tersebut kemudian dipakai landasan Sultan untuk memberikan tanda tangannya sebgai bukti ksepakatan dengan pemerintahan kolonial yang telah berlangsung berbulan-bulan. Mempercayai ‘bisikan ghaib’ inilah yang oleh penulis digolongkan sebagai tradisi pemikiran orang timur.
[4] Lihat tulisan Radahar Panca Dahana dengan judul Dimana Monarkhi Itu? dalam buku “Monarkhi Yogya” Inkonstitusional terbitan Kompas.
[5] Lihat tulisan Widjojo Nitisastro dengan judul Kesatria harus Tahu Kapan Mundur dari Panggung dalam buku Sepanjang Hayat Bersama Rakyat terbitan Kompas.

Diambil Dari :
http://hasan-setiawan.blog.ugm.ac.id/2012/05/29/bersahabat-dengan-sri-sultan-hamengku-buwono-ix-sebuah-refleksi-kepemimpinan-sultan-dalam-potret-indonesia-2012/


Refleksi diatas kami rekomendasikan kepada kwartir Gerakan Pramuka Saat ini. baik dari ranting sampai nasional.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook

Pramuka Smanab